Kematian Gajah Yongki yang dibunuh dan diambil gadingnya oleh pencuri, merupakan pukulan bagi upaya konservasi satwa di Lampung. Bagaimana tidak, Yongki adalah salah satu pahlawan yang kerap mencegah jatuhnya korban manusia atau gajah saat terjadi konflik gajah dan manusia.
Yongki adalah seekor gajah jinak berumur 35 tahun yang tinggal di
Posko Pemantauan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Wilayah Pemerihan,
Lampung Barat. Di posko tersebut, ada pula 2 gajah jantan, Karnangin
dan Renggo; 2 gajah jantan anakan, Tomi dan Sampot; serta 1 gajah
betina, Arni.
Jumat sekitar pukul 04.00, posko itu disatroni pencuri. Tanpa belas kasihan, pencuri membunuh Yongki dan mencabut gadingnya.
Kematian Yongki meninggalkan kesedihan bagi banyak kalangan, termasuk
petugas jaga yang tinggal sekitar 200 meter dari posko. Berita kematian
Yongki pun segera tersebar. Tagar #RIPYongki langsung merebak di dunia
maya.
Sejumlah petugas Taman Nasional Bukit Barisan segera datang melayat.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Lampung Subakir yang sedang
berada di Bandar Lampung segera menempuh jarak sekitar 250 kilometer
untuk melihat Yongki terakhir kalinya. Ketua Forum Mahout Indonesia yang
juga mahout (pawang gajah) pertama, Nazarudin, pun datang dari Taman
Nasional Way Kambas, Lampung Timur.
“Sebelum menjadi gajah pencegah konflik, Yongki adalah salah satu
gajah liar yang kerap merusak kebun warga di Liwa, Lampung Barat. Tahun
1994, kami menangkap Yongki dan beberapa temannya yang tertinggal dari
rombongan setelah merusak perkebunan warga,” kata Nazarudin.
Nazarudin dan sejumlah pawang lain membawa Yongki ke Taman Nasional
Way Kambas, Lampung Timur, untuk “mempertobatkan” mamalia raksasa itu.
Badannya yang besar dan kepandaiannya membuat Yongki terpilih menjadi
gajah penggiring. Teman-teman Yongki menjadi gajah tunggang dan gajah
patroli.
Operasi penanganan konflik gajah di Way Kambas pada 1997 menjadi
debut Yongki. Operasi demi operasi ia lalui dengan sukses. “Tidak tahu
pasti berapa kali Yongki sudah terlibat dalam operasi pencegahan
konflik. Kerugian masyarakat akibat serangan gajah liar juga tak
terhitung. Jumlah gajah liar yang mati akibat konflik dengan manusia
juga dapat ditekan,” tuturnya.
Nazarudin mengatakan, kelebihan Yongki ialah kemampuannya menggiring.
Ia berani menggiring gajah yang lebih dewasa. Ia juga salah satu dari
sedikit gajah yang mampu mencari jejak gajah liar dan mengantar tim
penggiring pulang ke posko menembus rimbunnya hutan saat malam
sekalipun.
Pada 2009, Yongki diperbantukan untuk mengatasi kasus serupa di Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung Barat. Dengan kata lain, Yongki
kembali ke kampung halamannya.
Yongki yang dahulu dianggap musuh masyarakat kini menjadi pahlawan
untuk mencegah konflik gajah dan manusia. Prestasinya di Lampung Barat
juga secemerlang masa tugasnya di Lampung Timur.
Dedikasi Yongki pernah dicatat Kompas pada terbitan tanggal 2 Mei
2010 berjudul “Gajah-gajah yang Menjadi Pahlawan”. Dalam tulisan
tersebut dikisahkan, Yongki dan kawan-kawannya punya peran penting.
Binatang itu sangat kuat, bisa menjelajahi kawasan hutan hingga masuk ke
pedalaman, dan ditakuti binatang liar di hutan. Dengan naik gajah,
polisi hutan merasa lebih percaya diri saat memantau taman nasional dan
mengusir perambah hutan.
“Sudah sekitar 200 hektar kawasan rambahan yang bisa diselamatkan
lewat patroli gajah,” kata Amri, Kepala Seksi Wilayah II Bengkunat
Belimbing saat itu.
Untuk mengatasi konflik gajah liar dengan manusia, gajah itu juga
efektif. Mereka bisa menggiring kawanan gajah liar dari perkampungan
penduduk. Gajah liar harus dikembalikan ke habitatnya di hutan karena
bisa melukai penduduk atau memakan tanaman milik rakyat.
Selama bertugas, Yongki beberapa kali berganti pawang. Salah satu
pawang yang pernah menjadi rekan kerjanya adalah Heru Santoso (40). Heru
menjadi kerabat Yongki selama 10 tahun sejak di Way Kambas hingga ke
Bukit Barisan Selatan.
“Kerja sama dengan Yongki enak. Dia mudah diatur, tidak agresif jika
dibandingkan gajah lain seumurannya. Waktu dipindahkan ke Lampung Barat,
dia bisa naik turun truk sendiri. Rasanya dia tahu akan bertugas di
kampung halamannya,” katanya.
Heru mengungkapkan, salah satu pengalaman berkesan bekerja bersama
Yongki ialah operasi relokasi gajah dari Desa Sekincau ke Taman Nasional
Bukit Barisan Selatan. Karena habitat di Sekincau terlalu dekat dengan
permukiman warga, sejumlah gajah liar di Sekincau digiring memasuki
wilayah konservasi di Taman Nasional Bukit Barisan.
“Saya dan Yongki dibantu sejumlah pawang dan gajah jinak lain
menggiring gajah-gajah liar masuk ke taman nasional. Saya lupa berapa
hari penggiringan gajah-gajah tersebut. Saya hanya ingat, kami berhasil
membawa semua gajah dari Sekincau masuk ke Taman Nasional Bukit Barisan
yang berjarak lebih kurang 20 kilometer,” ujar Heru.
Saat dihubungi Kompas, Sabtu, Heru mengatakan, dirinya masih tak
percaya Yongki mati di tangan pemburu. Kematian Yongki di rumahnya
sendiri merupakan kehilangan mendalam.
Ironi memang, Yongki mati di rumah yang seharusnya menjadi tempat
paling aman bagi dirinya. Kalau gajah jinak di posko pemantauan saja
menjadi korban perburuan liar, bagaimana nasib gajah-gajah liar yang
berada di dalam hutan dan jauh dari posko pemantauan.
0 komentar:
Jangan Lupa Tinggalkan Pendapat Anda di Kotak Komen Ini Ya. ^_^