Untuk dapat menggunakan kamera secara maksimal, saya melakukan
pengaturan menu agar sesuai dengan kebiasaan saya. Sebagai fotografer
landscape, saya harus siaga membaca situasi agar sebuah momen tidak
berlalu begitu saja. Resolusi yang tinggi memberikan detail lebih baik
dan kecepatan shutter menjadi sangat berguna. Saat harus beraktivitas
dalam kondisi low light, kadang kita harus menggunakan ISO tinggi
sehingga kamera dengan noise rendah penting bagi saya. Berikut ini
setting yang saya gunakan pada Nikon D3, silakan sesuaikan dengan buku
manual Anda untuk kamera yang berbeda.
1. Aperture Priority
Saya hampir selalu men-setting kamera pada mode Aperture Priority (A/AV). Mode ini memberikan kemudahan hampir di semua kondisi pemotretan. Dengan mengubah diafragma, saya dapat menentukan ruang tajam dari sebuah obyek dan obyek mana yang out of focus, hal ini memungkinkan untuk mengarahkan mata pengamat sesuai keinginan saya. Diafragma yang saya pilih menentukan kecepatan shutter, tergantung dari ISO yang digunakan.
Diafragma kecil (angka besar) memberikan ketajaman mulai foreground hingga background. Memasang diafragma besar (angka kecil) akan meningkatkan kecepatan shutter sehingga Anda bisa membekukan gerakan.
2. CONTINUOUS FOCUS DYNAMIC
Saya mengaktifkan Continuous AF Dynamic pada kamera. Saya fokus kepada subyek menggunakan satu titik fokus, lalu kamera menggunakan titik fokus itu bersama 20 titik lainnya untuk mengunci target yang bergerak, membuatnya tetap dalam area fokus sehingga saya bisa berkonsentrasi kepada komposisi. Selama subyek masih berada dalam area target, fokus akan tetap terkunci.
3. CONTINUOUS HIGH ADVANCE
Dengan menggunakan setting Continuous High Advance (9 frame per detik), saya dapat merekam gerakan cepat, beberapa frame sekaligus dalam sekali klik (Gambar 1.27), tidak ada satu gerakan pun yang luput.
4. 3D MATRIX METERING
Saya mengandalkan sistem metering kamera saya untuk menyajikan eksposur yang tepat. 1005 pixel 3D Matrix Metering (Evaluate Metering pada kamera Canon) mengevaluasi suatu scene, lalu menghitung komposisi gelap dan terang pada area tersebut, melakukan komparasi dan penghitungan rumit pada sebuah database, lalu menyajikan hasil akhir berupa indikasi keseimbangan.
5. RAW vs JPEG FORMAT
Untuk informasi, resolusi dan fleksibilitas, saya memasang setting pada pilihan RAW + JPEG. Format RAW membawa informasi tak terhingga menyangkut warna dan ketajaman foto. Sangat memungkinkan memberikan adjustment pada eksposur, white balance sebelum proses final, yaitu meng-convert-nya menjadi JPEG. Hal ini menjadi fleksibilitas dalam menjaga kualitas foto. RAW memiliki puluhan ribu tonal value sementara JPEG memiliki ratusan tonal values. Namun apakah lebih banyak selalu lebih baik? Hal ini tergantung pada kebutuhan output Anda. Bila Anda hanya memerlukan foto untuk keperluan web atau social media, JPEG sudah cukup membantu karena tidak memerlukan sentuhan mendetail dan ukurannya cukup kecil untuk dikirim via email. Namun bila Anda berencana untuk mencetak foto dalam ukuran besar atau membuat setiap warna dan detail tampil maksimal, Anda bisa menggunakan format RAW lalu melakukan pengaturan lebih lanjut.
6. COLOR SPACE
Adobe RGB menyediakan color palet dengan warna lebih variatif. Saya mendapatkan gradasi warna dengan transisi yang halus. Memotret dalam format Adobe RGB membuat hasil cetak foto tampil dengan warna yang saya inginkan, bila foto diperlukan untuk kebutuhan web atau email, saya tinggal meng-convert-nya menjadi format lain. Foto yang selesai diolah masih dapat diubah sesuai keperluan.
7. HIGHLIGHT WARNING
Highlight warning (kadang disebut “blinkies”) memberikan indikasi area terang pada foto sehingga saya bisa langsung memutuskan untuk mengambil ulang suatu foto. Dengan mengaktifkan highlight warning pada menu, saya bisa melakukan zoom-in pada area tersebut dan memeriksa apakah terdapat detail. Bila terlalu over, maka saya melakukan pemotretan ulang dengan mengurangi cahaya yang masuk.
8. FILE NUMBER SEQUENCE
Saat cuaca cerah, saya bisa menghabiskan waktu dengan menekan shutter. Lalu saya tutup hari dengan men-download foto-foto dari kartu memori ke dalam komputer. Bila kebetulan terdapat file dengan nama serupa, biasanya komputer akan menanyakan apakah saya berminat untuk melakukan overwrite? Dalam kondisi lelah, bisa saja saya melakukan kesalahan. Dengan mengaktifkan fitur number sequence turned on, kamera akan memberikan nama secara berurutan walaupun Anda menggunakan kartu memori yang berbeda. Hal sederhana ini membantu mendokumentasikan foto Anda secara teratur.
9. AF-ON (AEL/AFL)
Saya mengaktifkan AF-ON untuk mengunci fokus dan eksposur, dan memotret dalam mode continuous untuk menangkap serangkaian momen. Tetapi ada kalanya saat obyek yang kita tuju tidak berada dekat dengan titik fokus mana pun yang disediakan kamera karena komposisi yang kita pilih. Daripada membuang waktu untuk menekan tombol atau tuas dan menggeser titik fokus pada viewfinder (ada kemungkinan kehilangan momen), Anda bisa fokus pada obyek dengan titik fokus aktif manapun, lalu menekan tombol AF-ON, mengkomposisi ulang dan menekan shutter. Selama saya menekan tombol AF-ON (AEL/AFL), fokus akan terkunci. Namun bila obyek berubah posisi, saya harus melakukan langkah tadi dari awal dengan mode continuous focus. Pelajari buku manual Anda untuk melakukan tip ini.
10. ISO
Pemilihan ISO dimulai dari yang paling rendah (misalnya ISO 100) untuk mendapatkan kualitas dan detail serta noise yang rendah. Saya baru menaikkan ISO bila diafragma/kecepatan shutter speed yang saya inginkan belum diperoleh.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, ISO yang digunakan secara langsung mempengaruhi kombinasi aperture/shutter speed yang digunakan. ISO yang lebih tinggi dan diafragma besar (angka kecil) memungkinkan Anda untuk memotret dengan kecepatan lebih dalam kondisi temaram, tentu saja dengan adanya noise sebagai konsekuensinya. Semakin tinggi ISO, semakin banyak noise yang dihasilkan. Bahkan dengan kemampuan kamera masa kini untuk menekan noise, saya memilih tetap memotret dengan ISO rendah untuk alasan hasil akhir.
Bila ISO yang lebih tinggi dibutuhkan untuk menghasilkan efek yang Anda inginkan, lakukanlah. Bagaimanapun foto yang tajam dengan noise masih lebih baik dibandingkan foto blurry. Noise dan ketajaman adalah dua hal yang dipilih saat berada dalam situasi low light.
1. Aperture Priority
Saya hampir selalu men-setting kamera pada mode Aperture Priority (A/AV). Mode ini memberikan kemudahan hampir di semua kondisi pemotretan. Dengan mengubah diafragma, saya dapat menentukan ruang tajam dari sebuah obyek dan obyek mana yang out of focus, hal ini memungkinkan untuk mengarahkan mata pengamat sesuai keinginan saya. Diafragma yang saya pilih menentukan kecepatan shutter, tergantung dari ISO yang digunakan.
Diafragma kecil (angka besar) memberikan ketajaman mulai foreground hingga background. Memasang diafragma besar (angka kecil) akan meningkatkan kecepatan shutter sehingga Anda bisa membekukan gerakan.
2. CONTINUOUS FOCUS DYNAMIC
Saya mengaktifkan Continuous AF Dynamic pada kamera. Saya fokus kepada subyek menggunakan satu titik fokus, lalu kamera menggunakan titik fokus itu bersama 20 titik lainnya untuk mengunci target yang bergerak, membuatnya tetap dalam area fokus sehingga saya bisa berkonsentrasi kepada komposisi. Selama subyek masih berada dalam area target, fokus akan tetap terkunci.
3. CONTINUOUS HIGH ADVANCE
Dengan menggunakan setting Continuous High Advance (9 frame per detik), saya dapat merekam gerakan cepat, beberapa frame sekaligus dalam sekali klik (Gambar 1.27), tidak ada satu gerakan pun yang luput.
4. 3D MATRIX METERING
Saya mengandalkan sistem metering kamera saya untuk menyajikan eksposur yang tepat. 1005 pixel 3D Matrix Metering (Evaluate Metering pada kamera Canon) mengevaluasi suatu scene, lalu menghitung komposisi gelap dan terang pada area tersebut, melakukan komparasi dan penghitungan rumit pada sebuah database, lalu menyajikan hasil akhir berupa indikasi keseimbangan.
5. RAW vs JPEG FORMAT
Untuk informasi, resolusi dan fleksibilitas, saya memasang setting pada pilihan RAW + JPEG. Format RAW membawa informasi tak terhingga menyangkut warna dan ketajaman foto. Sangat memungkinkan memberikan adjustment pada eksposur, white balance sebelum proses final, yaitu meng-convert-nya menjadi JPEG. Hal ini menjadi fleksibilitas dalam menjaga kualitas foto. RAW memiliki puluhan ribu tonal value sementara JPEG memiliki ratusan tonal values. Namun apakah lebih banyak selalu lebih baik? Hal ini tergantung pada kebutuhan output Anda. Bila Anda hanya memerlukan foto untuk keperluan web atau social media, JPEG sudah cukup membantu karena tidak memerlukan sentuhan mendetail dan ukurannya cukup kecil untuk dikirim via email. Namun bila Anda berencana untuk mencetak foto dalam ukuran besar atau membuat setiap warna dan detail tampil maksimal, Anda bisa menggunakan format RAW lalu melakukan pengaturan lebih lanjut.
6. COLOR SPACE
Adobe RGB menyediakan color palet dengan warna lebih variatif. Saya mendapatkan gradasi warna dengan transisi yang halus. Memotret dalam format Adobe RGB membuat hasil cetak foto tampil dengan warna yang saya inginkan, bila foto diperlukan untuk kebutuhan web atau email, saya tinggal meng-convert-nya menjadi format lain. Foto yang selesai diolah masih dapat diubah sesuai keperluan.
7. HIGHLIGHT WARNING
Highlight warning (kadang disebut “blinkies”) memberikan indikasi area terang pada foto sehingga saya bisa langsung memutuskan untuk mengambil ulang suatu foto. Dengan mengaktifkan highlight warning pada menu, saya bisa melakukan zoom-in pada area tersebut dan memeriksa apakah terdapat detail. Bila terlalu over, maka saya melakukan pemotretan ulang dengan mengurangi cahaya yang masuk.
8. FILE NUMBER SEQUENCE
Saat cuaca cerah, saya bisa menghabiskan waktu dengan menekan shutter. Lalu saya tutup hari dengan men-download foto-foto dari kartu memori ke dalam komputer. Bila kebetulan terdapat file dengan nama serupa, biasanya komputer akan menanyakan apakah saya berminat untuk melakukan overwrite? Dalam kondisi lelah, bisa saja saya melakukan kesalahan. Dengan mengaktifkan fitur number sequence turned on, kamera akan memberikan nama secara berurutan walaupun Anda menggunakan kartu memori yang berbeda. Hal sederhana ini membantu mendokumentasikan foto Anda secara teratur.
9. AF-ON (AEL/AFL)
Saya mengaktifkan AF-ON untuk mengunci fokus dan eksposur, dan memotret dalam mode continuous untuk menangkap serangkaian momen. Tetapi ada kalanya saat obyek yang kita tuju tidak berada dekat dengan titik fokus mana pun yang disediakan kamera karena komposisi yang kita pilih. Daripada membuang waktu untuk menekan tombol atau tuas dan menggeser titik fokus pada viewfinder (ada kemungkinan kehilangan momen), Anda bisa fokus pada obyek dengan titik fokus aktif manapun, lalu menekan tombol AF-ON, mengkomposisi ulang dan menekan shutter. Selama saya menekan tombol AF-ON (AEL/AFL), fokus akan terkunci. Namun bila obyek berubah posisi, saya harus melakukan langkah tadi dari awal dengan mode continuous focus. Pelajari buku manual Anda untuk melakukan tip ini.
10. ISO
Pemilihan ISO dimulai dari yang paling rendah (misalnya ISO 100) untuk mendapatkan kualitas dan detail serta noise yang rendah. Saya baru menaikkan ISO bila diafragma/kecepatan shutter speed yang saya inginkan belum diperoleh.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, ISO yang digunakan secara langsung mempengaruhi kombinasi aperture/shutter speed yang digunakan. ISO yang lebih tinggi dan diafragma besar (angka kecil) memungkinkan Anda untuk memotret dengan kecepatan lebih dalam kondisi temaram, tentu saja dengan adanya noise sebagai konsekuensinya. Semakin tinggi ISO, semakin banyak noise yang dihasilkan. Bahkan dengan kemampuan kamera masa kini untuk menekan noise, saya memilih tetap memotret dengan ISO rendah untuk alasan hasil akhir.
Bila ISO yang lebih tinggi dibutuhkan untuk menghasilkan efek yang Anda inginkan, lakukanlah. Bagaimanapun foto yang tajam dengan noise masih lebih baik dibandingkan foto blurry. Noise dan ketajaman adalah dua hal yang dipilih saat berada dalam situasi low light.
0 komentar:
Jangan Lupa Tinggalkan Pendapat Anda di Kotak Komen Ini Ya. ^_^